Thursday 26 December 2013

Mengapa Memilih untuk Membaca?

Mengapa memilih untuk membaca?  Pertama, aku ingin menceritakan terlebih dahulu awal dari “kecanduan membaca”-ku yang belum lama ini.
Waktu itu akhir tahun 2011.  Aku diajak ke toko buku.  Lalu terlintas di pikiranku,”apa yang akan aku lakukan disini?”  Aku berusaha mencari kesibukan sendiri karena anggota keluargaku yang lain sibuk melihat-lihat buku di rak favorit masing-masing.  Lalu aku mendatangi rak berlabel “Novel Remaja”.  Aku mengambil beberapa buku yang judulnya menarik perhatianku dan kemudian membaca sinopsisnya di bagian belakang.  Aku berpikir, mengapa tidak mencoba hal baru?  Tidakkah bosan jika mengunjungi toko buku dan hanya pulang dengan tangan kosong?  Akhirnya pilihan pertamaku untuk novel pertama jatuh pada teenlit berjudul “I Love You, Goodbye” karya Fifi Alfiana.  Hanya butuh 2 jam untuk menyelesaikan novel yang tidak terlalu tebal itu (pada saat itu barulah aku sadar akan kecepatan membaca yang kumiliki).  Dan pada saat itu juga, aku merasa,”membaca? Menyenangkan!”
Dan mulai saat itu juga, aku tidak pernah keluar dari toko buku dengan tangan kosong.  Awalnya, aku hanya pulang dengan satu teenlit di genggaman.  Lama kelamaan, aku tersadar, satu teenlit hanya untuk dua jam? Tidak.  Tidak.  Kecanduan ini berhak mendapat lebih. 
Lalu ketika selanjutnya aku ke toko buku, aku berganti rak buku.  Dari “Novel Remaja”, beralih ke “Sastra Indonesia”.  Di situ aku menemukan buku-buku karya Winna Efendi, Fidriwida (Dahlian), dan yang lain-lain.  Dan buku novel (benar-benar novel, bukan teenlit) pertama yang kubeli adalah “Promises, Promises” karya Dahlian, yang tidak lain merupakan nama pena dari Fidriwida.  Dari situlah semua berawal.  Dua tahun yang lalu.  Sampai sekarang, kecanduan itu tidak dapat dihilangkan.  Jika aku menemukan diriku tidak memiliki buku untuk dibaca, aku merasa kosong.  Awalnya buku hanya untuk mengisi kekosonganku, dan sekarang, tanpa buku aku benar-benar “kosong”.
Membaca membuatmu menyadari apa yang terpendam selama ini dalam dirimu.  Membaca berarti menjelajahi dunia tanpa meninggalkan duniamu sendiri.  Apapun yang akan kau lakukan di masa depan nanti, membaca adalah kuncinya.  Bahkan, menjadi penulis sangat identik dengan membaca.  Dari membacalah semua passion-ku untuk menulis keluar dan kutuangkan ke dokumen-dokumen Microsoft Word di laptopku.
Cobalah untuk membaca.  Kau tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? You’ll be addicted!  Jika kau ingin melihat dunia, membacalah.  Atau lebih baik, jika kau ingin dunia melihatmu, menulislah. :)

-AAz-

Tuesday 24 December 2013

Sesuatu Yang Dieja C-i-n-t-a

Mencintai. Dicintai. Melupakan. Dilupakan. Merindukan. Dirindukan. Semua berada di satu karung. Cinta. Begitulah kau sebut karung itu.
Bertemu dengannya adalah takdir. Saat menatap matanya, kau merasakan keteduhan jiwanya. Begitulah cinta. Selalu berhasil membuatmu gila. Selalu bisa membuatmu lupa diri.
Berkenalan dengannya membuat senyum manis melengkung di wajahmu. Membuat duniamu berputar sepenuhnya.
Berbicara dengannya membuatmu selalu ingin berada di dekatnya. Waktu terasa berhenti.
Lebih dekat dengannya membuatmu yakin bahwa ia memiliki keinginan yang sama dengan dirimu. Menautkan hati satu sama lain.
Sampai akhirnya kau memilih untuk menjalani hari-hari hidupmu bersamanya. Dia yang kau cinta.
Bersamanya, semua terasa benar. Tiada mendung yang mampu menghias wajahmu. Tiada hujan yang merintik dari mata indahmu.
Waktu terus berjalan. Dia mulai berubah..
Tak seperti dulu. Terlalu banyak jarak yang membentang bagimu untuk merasakan cintanya yang tak sebesar dulu.
Mendua.
Sederhana. Tetapi menyakitkan.
Saat kau tahu ternyata dia adalah aktor yang baik. Saat kau tahu ia menutup buku yang dulu dibukanya bersamamu. Saat kau tahu ternyata dirimu bukan siapa-siapa lagi baginya. Saat kau tahu kau telah tergantikan oleh yang lain..
Engkau yang sedang patah hati, menangislah. Curahkan airmatamu agar segalanya terasa ringan.
Kau tahu dia bukan milikmu lagi. Kau tahu ia sudah menutup semua tentangmu.
Tetapi, bagaimana jika luka yang membuatmu pergi belum cukup perih dibandingkan dengan kenangan yang menarikmu kembali?
Bagaimana jika benci itu belum cukup besar dibandingkan dengan cinta yang masih utuh?
Bagaimana jika rasa sakit itu masih kalah jelas dengan kotak memori tentangnya yang masih bermain di pikiranmu?
Begitu banyak tanda tanya untuk orang yang sedang kalut demi cinta.
Masih terlalu besar rasa yang harus dikikis demi melupakannya.
Masih terlalu manis kenangan yang harus disamarkan demi menganggapnya angin lalu.
Masih terlalu sakit hati ini untuk merelakan dirinya dengan yang lain.
Masih belum cukup sempurna keadaan hati ini untuk ditempati seseorang yang lain.
Namun, kau tahu? Bagaimanapun, pada akhirnya kau harus bisa menata hati tanpanya.
Kau harus bisa menjalani hidup tanpanya lagi. Tepat seperti dulu, sebelum kau mengenalnya.
Karena kau harus tahu, seseorang disana akan sepenuhnya mencintaimu. Kau hanya perlu menunggu. Suatu waktu, kalian akan bertemu karena ia pun menunggumu.

-AAz-

Pengagum Rahasia

Di suatu sudut pernah ada kisah tentang rasa yang tumbuh diam-diam
Tidak ada berbalas kata, tidak ada berbalas rasa, tidak ada
Karena hanya ia yang merasakan, hanya ia yang menatapmu dari kejauhan



Lama ia bertanya pada diri sendiri
kaukah jawaban atas rindu yang menumpuk di hatinya?
Kaukah takdir yang telah dipasangkan Tuhan untuk jiwanya?
Atau kau hanya sebuah persinggahan yang ia lewati dalam perjalanannya mengembara hati?

Terlalu banyak tanda tanya di hatinya
Tak tahu kapan akan terjawab,
Karena ia hanya sendiri dalam kisah ini
Hanya ia dan perasaannya
Ia tak pernah menyangka, ternyata jatuh ke pesonamu hanya akan mengisahkan suatu perasaan yang tak terbalas

Namun, ia tak akan pernah menyerah
Hatinya masih menginginkan jawaban
Dan ia akan tetap menunggu…
Hingga kau menanyakan namanya

-AAz-

Wednesday 2 October 2013

Kamu..

“cinta tidak pernah memandang suasana hati yang disinggahinya, jika ia datang, ia akan bersemi di hatimu, tak peduli apakah ia terbalas atau terabaikan.”

Raras terpaku membaca kutipan di majalah Jani yang seolah-olah sukses meluncurkan busur di hatinya. Lelaki itu…

Ras! Kamu udah lapor ke Mbak Vera kalau siang ini kamu nggak bisa ikut kelas?” tanya Jani tiba-tiba. Raras membeliak. “astaga, Jan! makasih udah ngingetin!” Raras langsung lari seolah ingin menyamakan kecepatan cahaya. Aku harus cepat. Ayo, Ras. Ayo.. ayo.. Jantungnya berdegup kencang karena takut pembimbing kelas kursus menggambarnya itu marah. Dan… BRUUKK!! “Aduh!” kening Raras terasa sedikit nyeri setelah menabrak sesuatu, yang kemudian ia sadari adalah dada seorang lelaki. “Aduh, maaf ya, Mas. Saya lagi…” kata-kata yang ingin diucapkannya menggantung di ujung lidah ketika ia mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung berhidung mancung dan berwajah bersih. Pesona singkat lelaki itu membuatnya terpaku. “Mbak nggak apa-apa?” pertanyaan yang keluar dari bibir lelaki itu langsung membuatnya tersadar. “eh.. iya.. enggak.. ehm.. enggak apa-ap… astaga! Mbak Vera! Permisi, Mas!” Raras melanjutkan perjuangannya mencari Mbak Vera secepat yang ia bisa. Tetapi, wajah lelaki tadi tidak bisa ia singkirkan dari pikirannya.

“Ras? Kamu kenapa melamun?” Jani yang tiba-tiba ada disampingnya membuyarkan lamunannya. “eh, enggak kok, Jan.” “ah, masa? Ketauan tuh. Ngelamunin siapa? Mas yang kamu tabrak tadi siang?” Raras menoleh menatap Jani. Raras selalu gagal untuk berbohong dalam hal sekecil apapun kepada sahabatnya sejak kecil itu. Raras kembali menatap kosong gelas yang tadi dipakainya untuk menyeduh coklat hangat. “emangnya kamu tau dia dari kelas bimbingannya siapa? Petunjuk yang kamu punya sedikit, Ras. Kamu cuma ketemu sekilas. Itupun nggak sengaja.” Raras hanya diam. Jani tersadar, ”oke, kalau besok mau kamu cari mas-mas yang tadi itu. Aku bantu deh.” Raras menoleh. “Beneran, Jan? Makasiihhhh!” Raras memeluk sahabatnya itu hingga Jani merasa akan kehabisan napas.

“Jan, jadwalku hari ini padat banget. Aku pulang duluan, ya. Mau jemput Ayah di bandara.” Kata Raras ketika mereka baru keluar dari kelas kursus. “Oke, aku juga dijemput Mas Ardhi. Hati-hati, Ras.” “sip! Byee..” Langkah Raras terhenti ketika Jani memanggilnya lagi. “Kenapa, Jan?” Jani berjalan mendekati Raras. “kamu nggak jadi nyari mas-mas yang kemarin?” pertanyaan Jani membuat Raras tiba-tiba teringat rencananya tadi malam. “besok aja deh. Masa iya aku nggak jemput Ayah gara-gara nyari dia.” Jani tersenyum. “Yaudah. Oke, see you soon..” Raras melanjutkan langkahnya dengan bayangan lelaki itu berkelebat di pikirannya.

“Assalamu’alaikum.” Raras tiba di rumah setelah ia mencari ayahnya di terminal kedatangan luar negeri Bandara Adisutjipto, tetapi tidak berhasil. Dan sekarang ia heran, di halaman rumahnya ada sebuah mobil Toyota Land Cruiser terparkir. Apakah kepunyaan orang yang menjemput ayahnya di bandara tadi? Karena ia melirik ke garasi mobil dan Toyota Fortuner kepunyaan ayahnya masih terparkir disana. “Wa’alaikumsalam..” pintu terbuka dan wajah lelah ayahnya muncul. Raras terkejut. “Ayah? Kok udah di rumah? Siapa yang jemput? Raras udah mondar-mandir di bandara nyariin Ayah tadi, tapi nggak ketemu. Terus, itu mobil siapa?” cerocos Raras sembari mencium tangan ayahnya. “masuklah dulu, Nak. Ayah ingin memperkenalkan kamu dengan teman lama Ayah.” Oh, teman lama.. Raras masuk ke dalam rumah, dan mendapati dua orang lelaki sedang menempati ruang tamunya. “Ras, ini Om Wijaya. Teman Ayah kuliah dulu.” Ayahnya memperkenalkan. “Saya Kaninaras, Om. Biasa dipanggil Raras.” Raras menjabat tangan Om Wijaya sambil tersenyum. “Wah, anakmu manis sekali, Aswatama. Persis seperti almarhumah Arimbi saat muda dulu.” Om Wijaya memuji Raras dan menyebutkan nama almarhumah ibunya. Raras tersipu. “ah, kau bisa saja, Wijaya. Nah, ini anaknya Om Wijaya, Ras. Tadi Ayah ketemu dia di bandara sekalian dia menjemput Om Wijaya yang juga baru dari Amerika. Ayah mau hubungin kamu tapi ponselmu ndak aktif, jadi….” Raras tidak begitu mendengar penjelasan ayahnya lagi ketika ia menatap lelaki di depannya yang diperkenalkan sebagai anak Om Wijaya itu. Suasana terasa kosong saat itu juga. Dia…. “aku Drupada.” Raras dengan hati-hati menjabat tangan Drupada dan menyebutkan namanya. “aku Kaninaras.” Raras sangat terkejut saat mendengar kata-kata Dru selanjutnya.  “Kaninaras, selalu berhati-hatilah meski kau sedang terburu-buru.”

Dan Raras merasakan bagaimana takdir memihak pada hatinya.


“Take a little look at the face of Miss Always Invisible
Look a little closer and maybe that you’ll see why she waits for the day when you ask her name
….
Then one day, just the same as the last
Just the days been in counting the time
Came a boy that sat under the bleachers
Just a little bit further behind..”
Taylor Swift – Miss Invisible

-AAz-

Tidak Semudah Itu

Cinta datang tanpa peringatan
Sekali ia menghampirimu, tak akan pernah ada yang dapat mengusirnya

Tak pernah semudah menjentikkan jari
untuk mengubah cinta menjadi benci
Tak pernah semudah menghilangkan debu
untuk memupuskan perasaan
Tak pernah semudah menikmati hujan
untuk memendam perasaan



Tak pernah semudah membalikkan telapak tangan
untuk menunggu dalam ketidakpastian
Tak pernah semudah menghirup udara
untuk melihatnya bahagia bersama orang lain
Tak pernah semudah mengedipkan mata
untuk menyembuhkan luka



Cinta adalah kenangan yang tertinggal
Cinta adalah perasaan yang tersisa
Cinta adalah luka yang menganga

Cinta adalah.. Kau.

-AAz-