Wednesday 2 October 2013

Kamu..

“cinta tidak pernah memandang suasana hati yang disinggahinya, jika ia datang, ia akan bersemi di hatimu, tak peduli apakah ia terbalas atau terabaikan.”

Raras terpaku membaca kutipan di majalah Jani yang seolah-olah sukses meluncurkan busur di hatinya. Lelaki itu…

Ras! Kamu udah lapor ke Mbak Vera kalau siang ini kamu nggak bisa ikut kelas?” tanya Jani tiba-tiba. Raras membeliak. “astaga, Jan! makasih udah ngingetin!” Raras langsung lari seolah ingin menyamakan kecepatan cahaya. Aku harus cepat. Ayo, Ras. Ayo.. ayo.. Jantungnya berdegup kencang karena takut pembimbing kelas kursus menggambarnya itu marah. Dan… BRUUKK!! “Aduh!” kening Raras terasa sedikit nyeri setelah menabrak sesuatu, yang kemudian ia sadari adalah dada seorang lelaki. “Aduh, maaf ya, Mas. Saya lagi…” kata-kata yang ingin diucapkannya menggantung di ujung lidah ketika ia mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung berhidung mancung dan berwajah bersih. Pesona singkat lelaki itu membuatnya terpaku. “Mbak nggak apa-apa?” pertanyaan yang keluar dari bibir lelaki itu langsung membuatnya tersadar. “eh.. iya.. enggak.. ehm.. enggak apa-ap… astaga! Mbak Vera! Permisi, Mas!” Raras melanjutkan perjuangannya mencari Mbak Vera secepat yang ia bisa. Tetapi, wajah lelaki tadi tidak bisa ia singkirkan dari pikirannya.

“Ras? Kamu kenapa melamun?” Jani yang tiba-tiba ada disampingnya membuyarkan lamunannya. “eh, enggak kok, Jan.” “ah, masa? Ketauan tuh. Ngelamunin siapa? Mas yang kamu tabrak tadi siang?” Raras menoleh menatap Jani. Raras selalu gagal untuk berbohong dalam hal sekecil apapun kepada sahabatnya sejak kecil itu. Raras kembali menatap kosong gelas yang tadi dipakainya untuk menyeduh coklat hangat. “emangnya kamu tau dia dari kelas bimbingannya siapa? Petunjuk yang kamu punya sedikit, Ras. Kamu cuma ketemu sekilas. Itupun nggak sengaja.” Raras hanya diam. Jani tersadar, ”oke, kalau besok mau kamu cari mas-mas yang tadi itu. Aku bantu deh.” Raras menoleh. “Beneran, Jan? Makasiihhhh!” Raras memeluk sahabatnya itu hingga Jani merasa akan kehabisan napas.

“Jan, jadwalku hari ini padat banget. Aku pulang duluan, ya. Mau jemput Ayah di bandara.” Kata Raras ketika mereka baru keluar dari kelas kursus. “Oke, aku juga dijemput Mas Ardhi. Hati-hati, Ras.” “sip! Byee..” Langkah Raras terhenti ketika Jani memanggilnya lagi. “Kenapa, Jan?” Jani berjalan mendekati Raras. “kamu nggak jadi nyari mas-mas yang kemarin?” pertanyaan Jani membuat Raras tiba-tiba teringat rencananya tadi malam. “besok aja deh. Masa iya aku nggak jemput Ayah gara-gara nyari dia.” Jani tersenyum. “Yaudah. Oke, see you soon..” Raras melanjutkan langkahnya dengan bayangan lelaki itu berkelebat di pikirannya.

“Assalamu’alaikum.” Raras tiba di rumah setelah ia mencari ayahnya di terminal kedatangan luar negeri Bandara Adisutjipto, tetapi tidak berhasil. Dan sekarang ia heran, di halaman rumahnya ada sebuah mobil Toyota Land Cruiser terparkir. Apakah kepunyaan orang yang menjemput ayahnya di bandara tadi? Karena ia melirik ke garasi mobil dan Toyota Fortuner kepunyaan ayahnya masih terparkir disana. “Wa’alaikumsalam..” pintu terbuka dan wajah lelah ayahnya muncul. Raras terkejut. “Ayah? Kok udah di rumah? Siapa yang jemput? Raras udah mondar-mandir di bandara nyariin Ayah tadi, tapi nggak ketemu. Terus, itu mobil siapa?” cerocos Raras sembari mencium tangan ayahnya. “masuklah dulu, Nak. Ayah ingin memperkenalkan kamu dengan teman lama Ayah.” Oh, teman lama.. Raras masuk ke dalam rumah, dan mendapati dua orang lelaki sedang menempati ruang tamunya. “Ras, ini Om Wijaya. Teman Ayah kuliah dulu.” Ayahnya memperkenalkan. “Saya Kaninaras, Om. Biasa dipanggil Raras.” Raras menjabat tangan Om Wijaya sambil tersenyum. “Wah, anakmu manis sekali, Aswatama. Persis seperti almarhumah Arimbi saat muda dulu.” Om Wijaya memuji Raras dan menyebutkan nama almarhumah ibunya. Raras tersipu. “ah, kau bisa saja, Wijaya. Nah, ini anaknya Om Wijaya, Ras. Tadi Ayah ketemu dia di bandara sekalian dia menjemput Om Wijaya yang juga baru dari Amerika. Ayah mau hubungin kamu tapi ponselmu ndak aktif, jadi….” Raras tidak begitu mendengar penjelasan ayahnya lagi ketika ia menatap lelaki di depannya yang diperkenalkan sebagai anak Om Wijaya itu. Suasana terasa kosong saat itu juga. Dia…. “aku Drupada.” Raras dengan hati-hati menjabat tangan Drupada dan menyebutkan namanya. “aku Kaninaras.” Raras sangat terkejut saat mendengar kata-kata Dru selanjutnya.  “Kaninaras, selalu berhati-hatilah meski kau sedang terburu-buru.”

Dan Raras merasakan bagaimana takdir memihak pada hatinya.


“Take a little look at the face of Miss Always Invisible
Look a little closer and maybe that you’ll see why she waits for the day when you ask her name
….
Then one day, just the same as the last
Just the days been in counting the time
Came a boy that sat under the bleachers
Just a little bit further behind..”
Taylor Swift – Miss Invisible

-AAz-

Tidak Semudah Itu

Cinta datang tanpa peringatan
Sekali ia menghampirimu, tak akan pernah ada yang dapat mengusirnya

Tak pernah semudah menjentikkan jari
untuk mengubah cinta menjadi benci
Tak pernah semudah menghilangkan debu
untuk memupuskan perasaan
Tak pernah semudah menikmati hujan
untuk memendam perasaan



Tak pernah semudah membalikkan telapak tangan
untuk menunggu dalam ketidakpastian
Tak pernah semudah menghirup udara
untuk melihatnya bahagia bersama orang lain
Tak pernah semudah mengedipkan mata
untuk menyembuhkan luka



Cinta adalah kenangan yang tertinggal
Cinta adalah perasaan yang tersisa
Cinta adalah luka yang menganga

Cinta adalah.. Kau.

-AAz-