“cinta tidak pernah memandang suasana hati yang
disinggahinya, jika ia datang, ia akan bersemi di hatimu, tak peduli apakah ia
terbalas atau terabaikan.”
Raras terpaku membaca kutipan di majalah Jani yang
seolah-olah sukses meluncurkan busur di hatinya. Lelaki itu…
“Ras! Kamu udah
lapor ke Mbak Vera kalau siang ini kamu nggak bisa ikut kelas?” tanya Jani
tiba-tiba. Raras membeliak. “astaga, Jan! makasih udah ngingetin!” Raras
langsung lari seolah ingin menyamakan kecepatan cahaya. Aku harus cepat. Ayo,
Ras. Ayo.. ayo.. Jantungnya berdegup kencang karena takut pembimbing kelas
kursus menggambarnya itu marah. Dan… BRUUKK!! “Aduh!” kening Raras terasa
sedikit nyeri setelah menabrak sesuatu, yang kemudian ia sadari adalah dada
seorang lelaki. “Aduh, maaf ya, Mas. Saya lagi…” kata-kata yang ingin
diucapkannya menggantung di ujung lidah ketika ia mendongak dan mendapati
seorang lelaki jangkung berhidung mancung dan berwajah bersih. Pesona singkat
lelaki itu membuatnya terpaku. “Mbak nggak apa-apa?” pertanyaan yang keluar
dari bibir lelaki itu langsung membuatnya tersadar. “eh.. iya.. enggak.. ehm..
enggak apa-ap… astaga! Mbak Vera! Permisi, Mas!” Raras melanjutkan
perjuangannya mencari Mbak Vera secepat yang ia bisa. Tetapi, wajah lelaki tadi
tidak bisa ia singkirkan dari pikirannya.
“Ras? Kamu kenapa melamun?” Jani yang tiba-tiba ada
disampingnya membuyarkan lamunannya. “eh, enggak kok, Jan.” “ah, masa? Ketauan
tuh. Ngelamunin siapa? Mas yang kamu tabrak tadi siang?” Raras menoleh menatap
Jani. Raras selalu gagal untuk berbohong dalam hal sekecil apapun kepada
sahabatnya sejak kecil itu. Raras kembali menatap kosong gelas yang tadi
dipakainya untuk menyeduh coklat hangat. “emangnya kamu tau dia dari kelas
bimbingannya siapa? Petunjuk yang kamu punya sedikit, Ras. Kamu cuma ketemu
sekilas. Itupun nggak sengaja.” Raras hanya diam. Jani tersadar, ”oke, kalau
besok mau kamu cari mas-mas yang tadi itu. Aku bantu deh.” Raras menoleh.
“Beneran, Jan? Makasiihhhh!” Raras memeluk sahabatnya itu hingga Jani merasa
akan kehabisan napas.
“Jan, jadwalku hari ini padat banget. Aku pulang duluan,
ya. Mau jemput Ayah di bandara.” Kata Raras ketika mereka baru keluar dari
kelas kursus. “Oke, aku juga dijemput Mas Ardhi. Hati-hati, Ras.” “sip! Byee..”
Langkah Raras terhenti ketika Jani memanggilnya lagi. “Kenapa, Jan?” Jani
berjalan mendekati Raras. “kamu nggak jadi nyari mas-mas yang kemarin?”
pertanyaan Jani membuat Raras tiba-tiba teringat rencananya tadi malam. “besok
aja deh. Masa iya aku nggak jemput Ayah gara-gara nyari dia.” Jani tersenyum.
“Yaudah. Oke, see you soon..” Raras melanjutkan langkahnya dengan bayangan
lelaki itu berkelebat di pikirannya.
“Assalamu’alaikum.” Raras tiba di rumah setelah ia
mencari ayahnya di terminal kedatangan luar negeri Bandara Adisutjipto, tetapi
tidak berhasil. Dan sekarang ia heran, di halaman rumahnya ada sebuah mobil
Toyota Land Cruiser terparkir. Apakah kepunyaan orang yang menjemput ayahnya di
bandara tadi? Karena ia melirik ke garasi mobil dan Toyota Fortuner kepunyaan
ayahnya masih terparkir disana. “Wa’alaikumsalam..” pintu terbuka dan wajah
lelah ayahnya muncul. Raras terkejut. “Ayah? Kok udah di rumah? Siapa yang
jemput? Raras udah mondar-mandir di bandara nyariin Ayah tadi, tapi nggak
ketemu. Terus, itu mobil siapa?” cerocos Raras sembari mencium tangan ayahnya. “masuklah
dulu, Nak. Ayah ingin memperkenalkan kamu dengan teman lama Ayah.” Oh, teman
lama.. Raras masuk ke dalam rumah, dan mendapati dua orang lelaki sedang
menempati ruang tamunya. “Ras, ini Om Wijaya. Teman Ayah kuliah dulu.” Ayahnya
memperkenalkan. “Saya Kaninaras, Om. Biasa dipanggil Raras.” Raras menjabat
tangan Om Wijaya sambil tersenyum. “Wah, anakmu manis sekali, Aswatama. Persis
seperti almarhumah Arimbi saat muda dulu.” Om Wijaya memuji Raras dan
menyebutkan nama almarhumah ibunya. Raras tersipu. “ah, kau bisa saja, Wijaya.
Nah, ini anaknya Om Wijaya, Ras. Tadi Ayah ketemu dia di bandara sekalian dia
menjemput Om Wijaya yang juga baru dari Amerika. Ayah mau hubungin kamu tapi
ponselmu ndak aktif, jadi….” Raras
tidak begitu mendengar penjelasan ayahnya lagi ketika ia menatap lelaki di
depannya yang diperkenalkan sebagai anak Om Wijaya itu. Suasana terasa kosong
saat itu juga. Dia…. “aku Drupada.” Raras dengan hati-hati menjabat tangan
Drupada dan menyebutkan namanya. “aku Kaninaras.” Raras sangat terkejut saat
mendengar kata-kata Dru selanjutnya.
“Kaninaras, selalu berhati-hatilah meski kau sedang terburu-buru.”
Dan Raras merasakan bagaimana takdir memihak pada
hatinya.
“Take a little
look at the face of Miss Always Invisible
Look a little
closer and maybe that you’ll see why she waits for the day when you ask her
name
….
Then one day, just
the same as the last
Just the days been
in counting the time
Came a boy that
sat under the bleachers
Just a little bit
further behind..”
Taylor Swift – Miss
Invisible-AAz-
No comments:
Post a Comment